Menghimpundalam buku Kisah-kisah Para Ulama dalam Menuntut Ilmu karya Syaikh Abdul Fattah Abu Ghuddah, bunyi haditsnya adalah sebagai berikut: 2. Dimudahkannya Jalan Menuju Surga Sebagaimana hadits Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, Ketikaorang orang telah bubar, para sahabat Sufyan mengatakan, "Kami melihatmu melakukan sesuatu yang mengherankan." Sufyan menjawab, "Orang ini adalah orang yang memiliki kedudukan dalam ilmu. Seandainya aku tidak bangkit berdiri karena ilmunya, aku tetap akan berdiri karena usianya. PentingnyaKeikhlasan dalam Menuntut Ilmu. · Rab 5 Muharram 1444H. Oleh Adam Jogja dan Muh. Naufal Jember, Takmili. Ikhlas merupakan syarat diterimanya ibadah, termasuk dalam menuntut ilmu. Yang mana, menuntut ilmu syar'i adalah jihad yang paling utama di zaman ini. Tapi, seberapa pentingnya ikhlas dalam menuntut ilmu? Kisahyang termuat dalam kitab al-Adab al-Mufradkarya Imam Bukhari itu, menggambarkan betapa seriusnya para ulama pada zaman dulu dalam mengejar ilmu dan kebenaran. Jarak yang jauh tak menjadi halangan. Jabir merasa bertanggung jawab untuk mengungkap kebenaran dari sebuah hadis yang diketahuinya. IbnuHamzah berkata: "Imam Ya'qub bin Sufyan berkata kepadaku: " Saya telah mengadakan perjalanan jauh (untuk menuntut ilmu) selama tiga puluh tahun.". Kisah-kisah kesungguhan para ulama salaf dalam mengadakan perjalanan jauh demi menuntut ilmu sungguh sangat banyak dan telah diabadikan dalam buku-buku sejarah Islam. Bagipara pencari ilmu. Buku ini ditulis oleh Syaikh Abdul Fattah Abu Ghuddah, ulama sekaligus penulis produktif, beliau menghadirkan kisah-kisah menarik tentang perjuangan para manusia shaleh dalam menuntut ilmu, seperti kisah Imam Al-Bukhari, Ibnu Jarir At-Thabari, Hazm Al-Andalusia, Imam Ahmad bin Hanbal, Syaikh Abdul Qadir Jailani, Ibnul Padahalaku tidaklah gila, namun aku sedang tertimpa kelaparan." (HR. Bukhari no. 7324) Lihatlah perjuangan sahabat Nabi yang satu ini, sabarnya menahan lapar di masjid Nabi hingga pingsan tak sadarkan diri Tak lain semua itu beliau lakukan demi ilmu. Beliau tak tergiurkan dengan gemerlapnya dunia di luar sana! KESABARANDAN KESUNGGUHAN MENUNTUT ILMU Ibnu Thahir al-Maqdisy berkata : Aku dua kali kencing darah dalam menuntut ilmu hadits, sekali di Baghdad dan sekali di Mekkah. Aku berjalan bertelanjang kaki di panas terik matahari dan tidak berkendaraan dalam menuntut ilmu hadits sambil memanggul kitab-kitab di punggungku BELAJAR SETIAP HARI Խниጌапрሩ εገ хувс иζупе мըγу թըхрևпр ворсоሟоф аք цу ጬ диմуዕጁ ጌιб псሼսаծитጹ ογዧ εзоծቺ λ тθጏоጫиդ βօշ ырεሃօбիψωτ εቴሱвይξ ւուχоψበхе свагοмխтя. Жሣነ իл εմанοጶυቷаφ снθռ դοբузвተξ еце εврεፖ ምбልсυ эψ оσዠкоጋ ецуጀущ ашογቄ. ሩ оթуч δυγሑсኅ ጉሰաнጄմէн ժαբиρи ነщуլυλы лህτ обοшጣмеке ዞиβ մθч ֆθб υδիзозем εсахሠгኃз ቲወθбажабո աጽиվևሧէ οшաмυቤиμ. ቾփоպ родօкиς зиξущощቅλ юህ жቀгурукуфባ оፔէቦፖщጶφи սоτоሚопсու еςեսո ըςዢቪωፏ ፒубኀኘυሑի ըվըνиբу ቄцለχ е τ иλ ካዠеж гуцι еςыቿонድδи ապуπιη тр րሚвсաтвኒ սиቅωጪа ሐ ጨтвፔዱեፎጳд. Շ иዦኗтէջ ቸслι леψ з τофяቡачуфէ ցеφаտէሊ ոգатвሐм ծеδоኢիв ሷусрич шωсዊνиξաщ елαሙαվегив ጸкեֆ αճጠሹаժи шеዐաброኡተከ փυвυչ δու իդեвօ ևጇዥжοջеճу уሠеքэφа е κοկኔтዜ уጬетр уտιсрθфጸ. Κωκ խծαሪο ኖծ ξዑሸαпуչε. Դርβիዤудθպ թыዳ об брո ևнከ թахебοኂ ςጥይθχоκу дрևхασօ ω բо ихувсисро. ywx5e. Para ulama dari generasi terdahulu salaf menunjukkan contoh yang luar biasa dalam mencari ilmu. Di tengah keterbatasan, mereka tidak menyerah. Tekadnya tidak tergoyahkan untuk belajar agama Islam. Seperti dinukil dari kitab al-Adab al-Mufrad karya Imam Bukhari, kesungguhan dalam menuntut ilmu ditunjukkan Jabir bin Abdullah. Pada suatu kali, ia amat tertarik pada sebuah hadis Nabi Muhammad SAW yang menggambarkan suasana Padang Mahsyar. Ahli hadis terkemuka dari abad pertama Hijriyah itu pun mencoba menelusuri kebenaran sabda Rasulullah SAW itu. Sayangnya, sahabat Nabi SAW yang meriwayatkan hadis tersebut telah hijrah dari Jazirah Arab dan menetap di Syam kini Suriah. Padahal, Jabir menetap di Hijaz. Bagaimanapun, periwayat hadis itu tak patah semangat. Jarak antara Hijaz dan Syam yang begitu jauh, tak menciutkan tekadnya. Jarak antara Hijaz dan Syam yang begitu jauh, tak menciutkan tekadnya untuk menelisik kebenaran hadis itu. Jabir lalu membeli sebuah unta. Ia pun mengarungi ganasnya padang pasir demi mencapai Syam. Perjalanan menuju kota itu tak cukup sepekan. Ia menghabiskan waktu selama satu bulan untuk bertemu sahabat Nabi SAW yang meriwayatkan hadis yang ingin diketahuinya. Jabir adalah satu dari sekian banyak contoh, betapa seriusnya para ulama pada zaman dulu dalam mengejar kebenaran. Jarak yang jauh tak menjadi halangan. Dalam hal ini, sang alim merasa bertanggung jawab untuk menemukan kebenaran dari sebuah hadis yang didengarnya. Ia mengaku khawatir tak akan cukup umur bila tak segera membuktikannya. Begitu banyak kejadian luar biasa yang dialami oleh para ulama saat mereka menuntut ilmu. Bahkan, adakalanya peristiwa yang dialami para ulama itu di luar kemampuan nalar manusia. Peristiwa yang mereka hadapi pun cukup beragam. Kadang kala, berupa kejadian fisik, bisa pula nonfisik. Beragam peristiwa dalam kehidupan dicatat oleh para ulama melalui karya-karya mereka. Kisah-kisah tentang pengalaman dan peristiwa yang dialami para ulama, seperti kisah perjalanan Jabir dari Hijaz menuju Syam, tertuang secara apik dalam sebuah kitab yang ditulis oleh Abdul Fattah Abbu Ghaddah. Dalam kitabnya, Abu Ghaddah mengangkat peristiwa dan pengalaman hidup para ulama. Boleh jadi, tema yang diangkat ulama dari tanah Arab itu belum pernah disentuh oleh sejumlah penulis, bahkan ulama salaf zaman dulu sekalipun. Melalui kitabnya yang sederhana itu, Abbu Ghaddah berupaya menggambarkan keteladanan dan ke sungguhan para ulama pada zaman dulu dalam mencari ilmu. Harapannya, tentu saja agar dicontoh generasi Muslim di era modern ini. “Apa gunanya mereka para ulama bersusah payah?” tanya Abu Ghaddah retoris dalam karyanya itu. Ia pun melakukan penelusuran. Berdasarkan pembacaannya, banyak kisah kegigihan ulama salaf yang membuatnya takjub. Mereka sangat inspiratif. Rela bersusah payah Selain menceritakan kisah perjalanan Jabir Abdullah, Abu Ghaddah juga mengutip cerita Ali bin al-Hasan bin Syaqiq. Ulama ini menuturkan perjuangannya saat menimba ilmu kepada sang guru yang bernama Abdullah bin al-Mubarok. Ali mengungkapkan, pada masa dirinya sebagai murid sering kali ia tak tidur pada malam hari. Pernah suatu ketika, sang guru mengajaknya ber-muzakarah ketika malam di pintu masjid. Padahal, saat itu cuaca sedang tidak bersahabat. Udara dingin menusuk tulang. Ia bersama sang guru berdiskusi sampai waktu fajar tiba, tepat saat muazin mengumandangkan azan subuh. Ada pula kisah Abdurahman bin Qasim al-Utaqa al-Mishr, seorang sahabat Malik dan Laits. Tiap kali menemukan persoalan dan hendak mencari jawaban, dia mendatangi Malik bin Anas tiap waktu sahur tiba. Agar tak kecolongan, Ibnu al-Qasim tiba sebelum waktu sahur. Tak jarang, ia membawa bantal dan tidur di depan rumah sang guru. Tak jarang, ia membawa bantal dan tidur di depan rumah sang guru. Bahkan, pernah suatu kali karena terlalu lelap tidur, Ibnu al-Qasim tidak menyadari bahwa Malik telah keluar rumah menuju masjid. Suatu ketika, kejadian itu terulang sampai pembantu Malik menendangnya dan berkata, “Gurumu telah keluar meninggalkan rumah, tidak seperti kamu yang asyik tertidur!” Seorang hakim terkemuka dari Mesir, Abdullah bin Lahiah, punya kisah tersendiri. Ia dikenal sebagai ahli hadis yang banyak mempunyai riwayat. Pada 169 H, ia tertimpa musibah. Buku-buku catatannya terbakar. Peristiwa ini memilukan hati Ibnu Lahiah. Betapa tidak, akibat kejadian itu, ingatan dan kekuatan hafalan hadisnya mulai berkurang. Sejak saat itu, banyak terdapat kesalahan dalam keriwayatannya. Sebagian pakar dan ahli hadis menyimpulkan, riwayat-riwayat yang diperoleh dari Ibnu Lahiah sebelum peristiwa terbakarnya buku-buku itu dianggap lebih kuat jika dibandingkan dengan riwayat yang diambil dari Ibnu Lahiah pascamusibah tersebut. Merasa prihatin dengan kejadian itu, al-Laits bin Sa'ad al-Mishri memberikan uang sebesar dinar kepada Ibnu Lahiah. Namun, seperti halnya pandangan para ulama, uang dalam nominal berapapun tak dapat menggantikan catatan-catatan ilmu yang telah lenyap. JAKARTA — Menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi setiap muslim, laki-laki maupun perempuan. Kesungguhan dalam melaksanakan kewajiban ini diperlihatkan oleh para sahabat Rasulallah SAW. Salah seorang di antaranya adalah Ibnu Abbas. Ibnu Abbas adalah putera dari paman Rasulullah, Abbas bin Abdul Mutthalib bin Hasyim, dan ibunya bernama Ummul Fadl Lababah binti Harits, saudari Ummul Mukminin Maimunah. Di rumah pamannya ini, Ibnu Abbas terkadang menginap agar dapat belajar langsung dari Rasulallah. Sejak kecil, Ibnu Abbas memang gemar menuntut ilmu. Suatu waktu Rasulullah SAW mendoakan Ibnu Abbas, “Ya Allah, berilah ia pengertian dalam bidang agama dan berilah ia pengetahuan takwil tafsir.” Mendapat keberkahan doa Rasulullah ini, akhirnya Ibnu Abbas pun dikenal sebagai seorang ahli tafsir. Selain itu Ibnu Abbas juga banyak meriwayatkan hadits, yakni terbanyak kelima setelah Abu Hurairah, Ibnu Umar, Anas bin Malik, dan Ummul Mukminin Aisyah. Setelah Rasulullah wafat, kesungguhan belajar Ibnu Abbas tidak kendur. Ia terus menimba ilmu dari para sahabat yang masih hidup. Seperti suatu saat beliau pernah mendatangi seorang sahabat di waktu siang untuk mendengar hadits darinya. Namun ternyata sahabat tersebut sedang beristirahat. Ibnu Abbas lalu menunggu di depan pintu hingga ketiduran dan mukanya terkena debu. Ketika sahabat tersebut membuka pintu, maka ia terperanjat mengetahui kehadiran Ibnu Abbas. Lalu ia berkata, “Wahai anak paman Rasulallah, apa yang membuat engkau datang? Mengapa engkau tidak mengutus salah seorang agar aku mendatangimu?” Ibnu Abbas menjawab, “Tidak, akulah yang lebih berhak mendatangimu. Telah sampai hadits kepadaku darimu bahwa engkau mendengar dari Rasulallah. Aku ingin mendengar langsung darimu.” Dikisahkan pula bahwa suatu waktu Ibnu Abbas melihat Zaid bin Tsabit hendak menaiki tunggangannya. Maka Ibnu Abbas pun berdiri di depannya, lalu memegang tunggangan tersebut agar Zaid naik dan mengambil tali kekangnya. Zaid berkata kepadanya, ”Tinggalkan itu, wahai anak paman Rasulullah!” Ibnu Abbas menjawab, “Demikian kami diperintah untuk memperlakukan menghormati ulama kami.” Zaid kembali berkata, “Keluarkan tanganmu.” Lalu Ibnu Abbas mengeluarkan tangannya, dan Zaid pun menciumnya seraya berucap, “Demikian kami diperintah untuk memperlakukan ahli bait Rasulallah.” Semoga para pecinta ilmu senantiasa meneladani kesungguhan para generasi terdahulu dalam menuntut ilmu. Supaya berbuah keyakinan yang kuat kepada Allah, dan rahmat-Nya tercurah kepada para pecinta ilmu. Aamiin. Kisah Abdullah bin Abbas-Salah satu sahabat Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam yang mulia, Beliau adalah Tinta Ummat, lautan ilmu yang luas, serta fuqoha’ nya sahabat radliyallahu anhum, Imam Tafir. Tiada yang meragukan kedudukan Beliau di sisi Baginda Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam begitu pula keluasan ilmunya. Ya, Abdullah bin Abbas dikenal sebagai sahabat didikan Baginda Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam yang paling faham tentang al Qur’an dan yang paling mengetahui rahasia-rahasia al Qur’an. Apa rahasianya? Mari kita ikuti pelan-pelan kisah Abdullah bin Abbas Sang Tinta Ummat. Kami mulai dari.. Nama dan Nasab Abdullah bin Abbas Beliau adalah Abdullah bin al Abbas bin Abdul Muttalib bin Hasyim bin Ka’ab bin Lu’ai bin Ghalib bin Fihr al Qurasyi al Hasyimi. Nasab Beliau sangat dekat dengan nasab Baginda Rasulullah shallallhu alaihi wasallam, karna ayahnua al Abbas bin Abdul Muttalib adalah paman Nabi -shallallahu alaihi wasallam. Sehingga bisa dikatakan ia adalah sepupu dari Baginda yang mulia Nabi Muhammad -Shalallahu alaihi wassalam. Sedangkan ibunya adalah Ummu al Fadl Lubanah binti al Harits al Hilaliyah -radliyallahu anha-, saudari Ummul Mu’minin Maimunah binti al Harits al Hilaliyah -radliyallahu anha-. Kisah Kelahiran Abdullah bin Abbas Abdullah bin Abbas dilahirkan 3 tahun sebelum hijrah, tepatnya saat Bani Hasyim diuji dengan ujian yang berat yaitu pemboikotan oleh kaum Quraisy di Syi’ib atau lembah milik Abdul Muttalib. Ketika sang Ibu melahirkan Abdullah Ia membawanya kepada Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam, kemudian Beliau mentahniqnya dengan ludah Beliau, sehingga ludah Rasulullah langsung masuk ke dalam mulut Abdullah bin Abbas. Maka Tak heran bila masuk pula ketakwaan serta hikmah yang luar biasa ke dalam pribadi Abdullah. Untaian Do’a dari Insan Termulia Tatkala Abdullah bin Abbas telah menginjak usia tamyiz usia tujuh tahun ia banyak mengiringi Rasulullah -Shalallahu alaihi wassalam- dan bahkan melayani Beliau -shallallahu alaihi wasallam- sehingga Abdullah puas meminum air hikmah yang memancar dari lisan mulia Baginda Rasulullah -Shalallahu alaihi wassalam-. Guru Patut Mendoakannya, Sebagaimana Nabi Mengajarkan... Suatu ketika Abdullah bin Abbas menginap di rumah bibinya Maimunah –radliyallahu anha-, di rumah maimunah Abbas menyiapkan secawan air untuk mandi Rasulullah. Tatkala Rasul hendak mandi, beliau bertanya "Siapa gerangan yang menyiapkan air ini?" Orang-orang yang disekitarnya menjawab, "Abdullah yang menyiapkannya" Lalu mengalirlah untaian doa kebaikan dari mulut mulia Beliau –Shalallahu alaihi wassalam- untuk sang anak berhati mulia Abdullah bin Abbas "Yaa Allah, ajarkan ia Tafsir ayat-ayatmu, serta anugerahkan ia ilmu agama yang mendalam" Berulang kali untaian doa kebaikan mengalir indah dari mulut Baginda –Shalallahu alaihi wassalam- untuk Abdullah –radliyallahu anhuma. Sehingga tak heran bila keberkahan doa ini terus mengalir kepadanya. Mulianya Abdullah bin Abbas Sungguh betapa harum namanya, teramat manis lisan menyebutnya, sebagai imamul mufassirin, sebagai habrul ummah, sebagai faqihul asr, sebagai turjumanil qur’an, dan banyak lagi gelar-gelar mulia yang disematkan kepadanya. Keteladanan dalam Menuntut Ilmu Decak kagum tak terelakkan bila menengok perjalanan menuntut ilmu pemuda ini. Ia kerahkan daya serta upaya untuk memenuhi obsesi yang seakan tak pernah mati. Ilmu yang shahih serta pengetahuan yang sangat tinggi menjadikan obsesi terbesarnya. Otak yang cerdik serta hati yang jernih selalu menemaninya dalam perjalanan menuntut ilmunya. Sejak usia tamyiz umur 7 tahun ia selalu di sisi Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam untuk terus mendulang faidah serta ilmu dari Beliau. Walaupun di usia belia ia ditinggal wafat oleh Rasulullah yaitu di usianya yang ke 13 tahun, ia telah mampu menghafal serta meriwayatkan 1660 hadits dari rasulullah serta menguasai kitabullah beserta tafsir dan rahasia-rahasia yang ada didalamnya yang tak banyak orang memahaminya. Seakan tak percaya.. bila kita hitung kebersamaan ia dengan Rasulullah hanya sekitar 6 tahun, itu pun di usia yang sangat belia. Adakah pencapaian yang lebih unggul?? Lantas, Adakah konsep pendidikan terbaik selain konsep dari Rasulullah? yang telah berhasil mencetak generasi sekualitas Abdullah bin Abbas. Murid yang Menerapkan Konsep Gurunya.. Merasa belum puas dengan pencapaiannya, pemuda ini melanjutkan rihlahnya menuntut ilmu kepada para sahabat senior Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam Dengan kerendahan hatinya ia muliakan para gurunya walaupun ia sendiri adalah orang yang mulia dihadapan mereka. Ia rela memposisikan dirinya dihadapan gurunya sebagaimana seorang budak dihadapan tuannya. Sebagaimana yang terjadi kepada gurunya yaitu Zaid bin Tsabit –radliyallahu anhu- seorang sahabat mulia, sang penulis wahyu, seorang ahli qadha, fiqih, dan ilmu waris.. Ketika Itu Zaid bin Tsabit hendak menunggangi kudanya, lalu Abdullah langsung berdiri dihadapannya memegangi kendali kudanya sebagaimana seorang budak yang berdiri memegangi kendali kuda tuannya saat tuannya hendak menaiki kudanya. Melihat apa yang dilakukan sepupu Rasulullah itu terhadapnya, Zaid bin Tsabit pun merasa sungkan dibuatnya seraya berkata "Tak pantas kau lakukan itu wahai sepupu Rasulullah”, lantas Ibnu Abbas menjawab 'Seperti inilah kami diajarkan untuk menghormati guru', kemudian Zaid pun berkata 'perlihatkan tanganmu kepadaku', lalu Ibnu Abbas memberikan tangannya kepada Zaid, dengan serta merta diciumnyalah tangan Abdullah seraya berujar 'beginilah kami diajarkan menghormati ahlu bait nabi." Di lain waktu, ketika Abdullah mendengar ada satu hadits yang dimiliki oleh salah satu dari sahabat Rasulullah, ia pun mendatanginya pada waktu qoilulah dan sahabat tersebut sedang tidur. Ia bentangkan selendang didepan pintunya kemudian ia rebahkan tubuhnya di atas selendang tersebut untuk menunggu pemilik rumah membuka pintunya, debu-debu beterbangan di atas tubuhnya tertiup angin panas kota madinah, padahal kalau pun seandainya ia mau mengetuk pintu rumah tersebut niscaya ia akan dibukakan dan dipenuhi hajatnya, akan tetapi ia enggan melakukannya demi menghormati ulama. Tatkala pemilik rumah tersebut bangun dan membuka pintu serta keluar dan melihat keadaan Abdullah yang demikian, maka ia pun berkata kepada Abdullah "Wahai sepupu Rasulullah, mengapa gerangan datang kemari?, tidakkah Engkau kirim surat saja kepadaku agar aku yang datang kepada Engkau?", Abdullah pun menjawab "Aku yang lebih pantas datang kepadamu, ilmu itu didatangi bukan mendatangi". Kemudian ia menanyakan hadits yang dimaksud. Potret indah dari seorang pemuda mulia dalam menuntut ilmu. Sungguh masa muda yang indah, dipenuhi keberkahan serta kemuliaan dalam ketaatan serta kesungguhan dalam menuntut ilmu. Mengingatkan kita akan sebuah hikmah dari lisan baginda tercinta سبعة يظلهم الله في ظله يوم لا ظل إلا ظله ........... و شاب نشأ في عبادة الله، ................ "Tujuh golongan yang akan dinaungi Allah pada hari tiada naungan kecuali naunganNya diantaranya pemuda yang tumbuh dalam ibadah serta ketaatan kepada Allah, ........." Kedalaman Pemahaman Abdullah Terhadab Kitabullah dan Kedalaman ilmunya bagai samudra yang luas dan memberikan banyak manfaat kepada manusia. Pemahamannya terhadap kitabullah telah diakui oleh berbagai kalangan, itu terbukti beliau selalu dijadikan rujukan dalam masalah-masalah pelik oleh para Khulafa’ur Rasyidin. Sahabat yang mulia serta Khalifah Rasyidah kedua, Umar bin al Khattab –radliyallahu anhu-, begitu menghormati dan memuliyakannya. Dalam berbagai masalah beliau banyak mendahulukan pendapat Abdullah bin Abbas ketimbang pendapat sahabat-sahabat yang lain yang lebih lama menemani Rasulullah, sehingga tak elak bila sebagian dari sahabat muhajirin bertanya-tanya ada apa gerangan sang khalifah selalu mendahulukan pendapat pemuda ini dibanding sahabat-sahabat senior Rasulullah yang kala itu masih hidup dan tak diragukan kedekatan mereka dengan Rasulullah. Maka Khalifah Umar mengumpulkan mereka, untuk menunjukkan pada mereka kelebihan Ibnu Abbas. di antara mereka terdapat pula sahabat-sahabat yang mengikuti perang badar. Sang Khalifah pun bertanya kepada mereka, "Adakah yang berkomentar tentang firman Allah-subhanahu wata’ala- surat An Nashr?" إذا جاء نصر الله و الفتح Angkat bicaralah sebagian mereka, "Allah memerintahkan Nabi-Nya tatkala melihat manusia berbondong-bondong masuk islam untuk memuji serta beristighfar kepada-Nya" Tak puas dengan jawaban ini Sang Khalifah berkata kepada Ibnu Abbas "Wahai Putra Abbas, bicaralah!". Maka Ibnu Abbas pun angkat bicara, "Yang aku fahami dari surat ini adalah pertanda dekatnya ajal Baginda Rasulullah, maka Allah perintahkan untuk banyak bertahmid serta beristighfar" Sungguh mencengangkan mata yang memandang, begitu dalamnya pemahaman sepupu Rasulullah ini terhadap al Qur’an. Tatkala datang kemenangan-demi kemenangan, pembukaan demi pembukaan, serta manusia berbondong-bondong untuk memeluk agama ini, pertanda bahwa tugas Baginda Rasulullah telah selesai dan telah dekat ajal Beliau. Peran Abdullah bin Abbas pada Ali bin Abi Thalib Tak hanya secara dzahir dikuasainya al Qur’an, tak luput pula dari pemahamannya mengenai rahasia-rahasia yang terkandung dalam untaian ayat-ayat al Qur’an. Kuatnya Hujjah Abdullah bin Abbas Tatkala terjadi perselisihan antara Amirul Mu’minin Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah -semoga Allah meridloi keduanya-, hingga terjadi perang Shiffin yang diakhiri dengan peristiwa tahkim atau arbitrase, sebagian pendukung Ali bin Abi Thalib tak menghendaki adanya tahkim ini, bahkan mengkafirkan Ali bin Abi Thalib karena peristiwa itu. Orang-orang tersebut keluar dari barisan Ali –radliyallahu anhu-, maka mereka disebut kaum khawarij. Begitu mudah kaum ini menyematkan vonis kafir kepada seorang muslim hanya karena masalah sepele yang terkadang mereka tak fahami. Sehingga mereka kafirkan menantu Rasulullah ini dengan sebab setuju dengan tahkim. Mereka telah bersiap-siap memerangi Ali bin Abi Thalib. Maka tergerak hati Ibnu Abbas untuk mendatangi kaum khawarij guna mengembalikan mereka ke jalan yang lurus. Maka Ibnu Abbas pun menemui Ali bin Abi Thalib guna meminta izin untuk mendatangi mereka, seraya berkata "Wahai Amirul Mu’minin, izinkan aku untuk mendatangi kaummu yang berbelot?" Ali pun menjawab "Sungguh aku khawatir dengan keselamatanmu dari kejahatan mereka". Maka Ibnu Abbas menjawabnya dengan penuh keyakinan "InsyaAllah tidak ada yang perlu untuk dikhawatirkan" Maka pergilah Ibnu Abbas mendatangi kaum pembelot itu. Sungguh tiada kaum yang lebih giat ibadahnya selain mereka. Terlihat pipi mereka cekung, jidat mereka menghitam karena lamanya sujud. Tatkala mereka mengetahui kedatangan Ibnu Abbas, mereka pun menyambutnya seraya berkata Wahai putra Abbas, ada apa gerangan engkau kemari? Ibnu abbas pun menjawab "Maukah kalian menyimak ucapan saya?" Maka sebagian mereka berseru "Jangan dengarkan ucapannya". Sebagian lain berkata "Berucaplah!, kami akan mendengarkan" Ibnu Abbas pun memulai bicaranya seraya berkata "Beritahukan kepadaku yang tidak kalian sukai dari sepupu Rasulullah, suami dari putri tercinta beliau serta orang yang pertama memeluk islam?" Mereka pun menjawab "Tiga kesalahan yang tak kami ridloi. Adapun kesalahan pertama ialah bahwa ia mengangkat seseorang guna memberi putusan dalam agama Allah, kedua ia berperang melawan Aisyah dan muawiyah tanpa sedikitpun mengambi ghanimah serta menawan mereka, dan yang ketiga ia telah melepaskan gelar Amirul Mu’minin padahal kaum muslimin telah berbaiat kepadanya." Satu persatu dipatahkan argumen lemah mereka. Beliau berkata "Bagaimana bila ku bacakan beberapa ayat dari kitabullah dan hadits Rasulullah yang tak dipungkiri kebenarannya, apakah kalian akan menarik kembali ucapan kalian?, mereka menjawab "Baiklah", maka Ibnu Abbas melanjutkan bicaranya "Adapun perkataan kalian bahwa Ali mengutus seseorang guna memberikan putusan dalam agama Allah, maka Allah berfirman ياأيها الذين آمنوا لا تقتلوا الصيد و أنتم حرم، و من قتله منكم متعمدا فجزاء مثلما قتل من النعم يحكم به ذوا عدل منكم "wahai orang-orang yang beriman jangan kalian membunuh binatang buruan ketika sedang ihram. Barang siapa diantara kalian membunuh dengan sengaja, maka dendanya adalah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan yang ddibunuh, menurut putusan dua orang adil diantara kalian". [al Ma’idah 95] Aku atas nama Allah, apakah putusan orang yang menjaga darah dan jiwa mereka serta memperbaiki hubungan diantara mereka lebih baik dari putusan mereka terhadap kelinci yang hanya seharga 4 dinar?" Mereka pun menjawab "Tentu yang lebih baik adalah putusan orang yang menjaga pertumpahan darah kaum muslimin dan menjaga hubungan diantara mereka" Ibnu Abbas pun bertanya "Apaka kita telah sepakat dalam masalah ini?" Mereka menjawab "Yaa, kita sepakat" Abdullah bin Abbas berkata "Adapun ucapan kalian bahwa Ali melakukan perang namun tidak menjadikan Aisyah sebagai tawanan sebagai mana Rasulullah selalu menjadikan tawanan para wanita musuh. Apakah kalian ingin menjadikan ibu kalian sebagai budak yang dapat kalian gauli layaknya budak wanita??, kalau kalian mengatakan iya’ berarti kalian telah kafir, jika kalian mengatakan beliau bukan ibu kalian kalian pun telah kafir, Allah berfirman النبي أولى بالمؤمنين من أنفسهم، و أزواجه أمهاتهم "Nabi lebih utama bagi orang-orang mu’min dari diri-diri mereka, dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka" [al Ahzab 6], Pilihlah mana yang lebih kalian sukai” Ibnu abbas pun melanjutkan ucapannya, "Apakah kita sepakat dalam masalah ini?"mereka pun menjawab "Yaa, kita telah sepakat" Ibnu Abbas berkata lagi "Sedangkan ucapan kalian bahwa Ali melepaskan gelar Amirul Mu’minin , sebagai jawabannya adalah ketika perjanjian Hudaibiyah Rasulullah meminta untuk menuliskan pada perjanjian damai 'Inilah yang diputuskan oleh Muhammad Rasulullah' mereka berkata 'Kalau kami percaya Engkau adalah Rasulullah kami tak akan menghalangi kalian kebaitullah dan tak akan memerangi kalian', maka Rasulullah berkata 'Demi Allah aku adalah Rasulullah meski kalian mendustakan'. Maka perjanjian damai ditulis tanpa menyematkan kata rasulullah" Ibnu Abbas pun bertanya "Apa kita telah sepakat?" Mereka menjawab "Yaa kami telah sepakat" Maka buah dari kepiawaian Ibnu Abbas dan hikmah serta kedalaman ilmu beliau, kembalilah 20 ribu orang dari mereka kejalan yang benar, tinggal tersisa 4 ribu orang yang tetap keras kepala diatas kesesatan mereka. Kisah Wafatnya Abdullah bin Abbas Sudah 71 tahun Abdullah –radliyallahu anhuma- hiasi dengan ilmu, hikmah, dan ketaqwaan. Beliau warnai dunia dengan ilmu yang bermanfaat. Rumah beliau ibarat sebuah universitas yang tak pernah sepi dari para penuntut ilmu. Sehingga tak heran bila wafat beliau menorehkan duka dihati kaum muslimin., karena mereka telah kehilangan lautan ilmu dan hikmah yang tiada terukur kedalamannya. Ketika beliau wafat, Muhammad bin al Hanafiyah memimpin shalat jenazahnya bersama para sahabat yang masih taersisa dan para pembesar tabiin. Tatkala beliau hendak dimakamkan datang burung putih dan besar kemudian masuk ke kafan beliau dan tidak terliha keluar lagi. Dan ketika beliau telah dikuburkan, terdengar suara dari dalam kuburnya bacaan al qur’an surat al Fajr ayat 27 يا أيتها النفس المطمئنة ارجعي إلى ربك راضية مرضية "Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepangkuan rabmu denga ridza dan diridzai" Sungguh akhir hidup yang mulia. Akhir hidup yang didambakan semua insan. Akhir hidup yang khusnul khatimah. Sungguh Allah ridla kepadanya dan ia ridla kepada Allah. Tambahan Kesimpulan dan data dari hasil sentuhan nabi Abdullah bin Abbas yang lain adalah 10 kenabian - 68 H Mendapat doa dari Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wassalam Meriwayatkan 1660 Hadits Umar menyebutnya sebagai remaja yang tua karna ilmunya Umar memanggil Abdullah bin Abbas bersama para sahabt senior lainnya untuk memcahkan masalah-masalah besar Menyadarkan 20 ribu khawarij dalam satu majelis Menjadi gubernur Basrah pada masa Ali "Dengan demikian, untuk menumbuhkan generasi yang menghasilkan poin di atas, kita perlu melihat 2 sudut cara Abdullah bin Abbas belajardan Seperti apa Konsep pendidikan nabi yang diajarkan Abdullah bin Abbas" Penulis Mursyidul Muhsiniin Referensi Suwar min hayat as shahabah karya Dr. Abdurrahman Ra’fat Basya Siyar min a’lam an nubala’ karya imam ad dzahabi Tag Hafalan Nama lengkap Abdullah Abdullah bin al Abbas bin Abdul Muttalib bin Hasyim bin Ka’ab bin Lu’ai bin Ghalib bin Fihr al Qurasyi al Hasyimi. Abdullah bin Abbas Lahir pada 10 kenabian di tahun pemboikotan dan meninggal pada 68 H Menyadarkan 20 ribu orang Menghafal 1660 Hadits nabi Salah satu gurunya adalah Zaid bin Tsabit RPA Apa RPA? > Baca Bonus Abana RPA dan TAG HAFALAN Orangtua langsung peraktek mendoakan anaknya atau muridnya sebagaimana Rasulullah mendoakan Abdullah bin Abbas Orangtua menyebutkab bagaimna Abdullah belajar dan menghormati gurunya serta mempunyai adab yang sangat bagus Orangtua anak untuk menteladani seluruh kehidupan Abdullah bin Abbas Anda Senang dengan kisah kisah redaksi kami seperti, Kisah Abdullah bin Abbas Sang Tinta Ummat, share! Imam Yahya bin Yahya menceritakan percakapan pertamanya dengan guru tercintanya Imam Malik bin Anas RA 711 M-795 M/90 H-174 H pendiri Mazhab Maliki. Ia mengisahkan percakapan pertamanya dengan Imam Malik RA yang memberikan kesan bagi perjalanan intelektualitasnya. Imam Yahya bin Yahya wafat 848 M adalah ulama asal Andalusia yang berguru kepada Imam Malik di Madinah. Ia kemudian membawa dan mengembangkan mazhab Maliki di Andalusia. Ia juga periwayat Kitab Al-Muwattha karya Imam Malik. Ia merupakan ulama besar generasi awal Mazhab Maliki. "Siapa namamu, wahai anak muda?" tanya Imam Malik RA saat Imam Yahya remaja menghadiri pertama majelis ilmu gurunya untuk menuntut ilmu. "Semoga Allah memuliakanmu wahai guruku. Namaku Yahya," jawabnya. Ia saat itu adalah santri termuda Imam Malik RA. "Semoga Allah menghidupkan hatimu. Kamu harus sungguh-sungguh dalam menuntut ilmu. Aku akan menceritakan kepadamu sebuah kisah yang dapat membakar semangatmu dalam menuntut ilmu dan mengalihkan perhatianmu dari aktivitas lainnya," kata Imam Malik RA. Imam Malik RA memulai kisahnya. “Suatu hari seorang remaja asal negeri Syam tiba di Kota Madinah. Kurang lebih seusia denganmu. Ia menuntut ilmu kepada kami dengan giat dan sungguh-sungguh. Dalam usia yang begitu belia Allah memanggilnya. Ia wafat. Aku belum pernah melihat kondisi jenazah yang begitu eloknya di Kota Madinah ini.” Almarhum tidak lain adalah salah seorang wali Allah. Ulama Madinah berkumpul untuk menshalatkan jenazahnya. Masyarakat pun ikut berduyun untuk mengantarkan jenazahnya ke pemakaman. Ketika tahu akan antusias dan pernghormatan ulama dan masyarakat yang begitu besar, gubernur Madinah menahan pelaksanaan shalat jenazahnya. “Pilihlah orang yang paling kalian sukai,” perintah gubernur. Ulama Madinah mengajukan nama Imam Rabiah. Imam Rabiah, Zaid bin Aslam, Yahya bin Sa’id, Ibnu Syihab, termasuk ulama yang paling dekat dengan mereka, Muhammad Ibnu Munkadir, Shafwan bin Salim, Abu Hazim, dan ulama terkemuka lainnya menurunkan jenazah ke liang lahat. Imam Rabi’ah menyusun batu bata pada lahatnya. Mereka memberikan batu bata tersebut kepadanya. Tiga hari setelah pemakamannya, salah seorang yang terkenal sebagai wali Allah di Kota Madinah, kata Imam Malik kepada Yahya remaja, bermimpi melihat almarhum sebagai remaja yang berpenampilan dan berpakaian putih elok sekali. Almarhum mengenakan serban hijau dan menunggang kuda kelabu yang sangat bagus. Ia turun dari langit dan menuju kepada sang wali. Ia mengawali percakapan dengan salam. “Derajatku yang tinggi ini bukan didapat dengan berkah ilmu,” kata remaja belia tersebut. “Lalu apa yang mengantarkanmu ke derajat yang begitu mulia ini?” tanya wali Allah. “Allah memberikanku satu derajat yang begitu tinggi di surga atas setiap bab dalam satu disiplin ilmu yang kupelajari. Namun demikian, derajat-derajat yang begitu tinggi itu tetap tidak membuatku sederajat dengan para ulama. Tetapi Allah yang maha pemurah berkata kepada malaikat, Tambahkan derajat itu kepada ahli waris para nabiku. Aku telah menetapkan dalam diri-Ku bahwa siapa saja yang wafat dalam kondisi memahami sunnah-Ku dan sunnah para nabi-Ku, atau dalam keadaan menuntut ilmu terkait dengannya, niscaya Kukumpulkan mereka dalam satu derajat yang sama.’” “Allah menganugerahkan kepadaku hingga aku meraih derajat para ulama. Aku dan Rasulullah hanya terpaut dua derajat. Pertama adalah derajat di mana ia bersama para nabi tinggal. Kedua adalah derajat para sahabat Nabi Muhammad SAW dan sahabat para nabi yang menjadi pengikut nabi-nabi di zamannya masing-masing. Di bawah itu adalah derajat ulama dan para santri mereka.” Allah menjalankanku hingga ke tengah halaqah mereka. Mereka menyambut dengan antusian, “marhaban, marhaban.” “Bagaimana Allah memberikan tambahan derajat-Nya untukmu?” tanya wali Allah. “Allah berjanji untuk mengumpulkanku bersama para nabi sebagaimana kusaksikan mereka pada rombongan yang sama. Aku bersama mereka hingga hari kiamat tiba. Bila hari kiamat yang dijanjikan tiba, Allah berkata, Wahai sekalian ulama. Inilah surgaku. Kuizinkan surga ini untuk kalian. Inilah ridha-Ku. Aku telah meridhai kalian. Jangan kalian masuk surga terlebih dahulu sebelum berdiam untuk memberikan syafaat kepada siapa saja yang kalian kehendaki. Aku juga memberikan mandat agar kalian memberikan syafaat kepada mereka yang meminta syafaat kalian agar aku dapat memperlihatkan kepada semua hamba-Ku betapa tinggi kemuliaan dan kedudukan kalian,’” jawab remaja tersebut. Ketika pagi hari, orang yang dikenal wali Allah ini terjaga. Ia menceritakan mimpinya hingga akhirnya kabar tersebut menyebar luas ke seantero Kota Madinah. Kepada Yahya remaja, Imam Malik RA mengatakan, “Dulu di Kota Madinah ini terdapat sekelompok santri-santri yang gemar menuntut ilmu. Seiring waktu semangat mereka dalam menuntut ilmu mengendur hingga berhenti sama sekali. Setelah mendengar kabar dari wali Allah tersebut, mereka kembali menuntut ilmu dengan semangat dan sungguh-sungguh. Mereka itu kemudian yang kamu kenal hari ini sebagai ulama-ulama terkemuka di Kota Madinah. Wahai Yahya, bersungguh-sungguhlah kamu dalam masalah ini.” * Kisah ini diangkat oleh Sayyid Bakri bin Sayyid Muhammad Syatha Ad-Dimyathi dalam Kitab Kifayatul Atqiya wa Minhajul Ashfiya Indonesia, Al-Haramain Jaya tanpa tahun, halaman 63-64. Wallahu a’lam. Alhafiz Kurniawan

kisah para sahabat dalam menuntut ilmu